Jumat, 18 Februari 2011

Kesenian Bali...""'

KESENIAN

Ini Adalah Foto Keluarga Besar AMHDkbs.
Jadi Apa Itu Seni dan Budaya .. :: """ ???? ?
  

PENGERTIAN KEBUDAYAAN DAN SENI : 
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang

merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut
culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya dalam pengertian yang luas adalah pancaran daripada budi dan daya. Seluruh
apa yang difikir, dirasa dan direnung diamalkan dalam bentuk daya menghasilkan
kehidupan. Budaya adalah cara hidup sesuatu bangsa atau umat. Budaya tidak lagi
dilihat sebagai pancaran ilmu dan pemikiran yang tinggi dan murni dari sesuatu bangsa
untuk mengatur kehidupan berasaskan peradaban.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang
kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual
dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Upacara kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, Afrika.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang
mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah bendabenda
yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku
dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.


Di Bawah Ini Adalah Hasil Karya Salah Satu Anggota Kami.. :: 
























Created : Made Nova A.

Kesenian Kami .. ??

Minggu, 13 Februari 2011

Belajar Hakcing.........






Hahahaha....lg baru bwt blog aja udh dhack orang....
sayang ternyata dia pemula sama seperti saya...
jejak yg ditinggalkan jg msh baru....
blh sih klo mang mau blajar teknik hacking...tp apa gk lbh baik blajar brg2...
dan etika hacker jg memberikan sebuah informasi bhwa sistem keamanan ini kurang...
tapi dsini koq gk ada informasinya ya?
jd bingung niat pelaku mu ngapain ma bloger ane...
mang bloger gw ada emasnya y...?



Sekilas tetang Hacker :


Peretas (Inggris: hacker) adalah orang yang mempelajari, menganalisa, memodifikasi, menerobos masuk ke dalam komputer dan jaringan komputer, baik untuk keuntungan atau dimotivasi oleh tantangan


Sejarah

Terminologi peretas muncul pada awal tahun 1960-an diantara para anggota organisasi mahasiswa Tech Model Railroad Club di Laboratorium Kecerdasan Artifisial Massachusetts Institute of Technology (MIT). Kelompok mahasiswa tersebut merupakan salah satu perintis perkembangan teknologi komputer dan mereka berkutat dengan sejumlah komputermainframe. Kata bahasa Inggris "hacker" pertama kalinya muncul dengan arti positif untuk menyebut seorang anggota yang memiliki keahlian dalam bidang komputer dan mampu membuat program komputer yang lebih baik daripada yang telah dirancang bersama.
Kemudian pada tahun 1983, istilah hacker mulai berkonotasi negatif. Pasalnya, pada tahun tersebut untuk pertama kalinya FBI menangkap kelompok kriminal komputer The 414s yang berbasis di Milwaukee, Amerika Serikat. 414 merupakan kode area lokal mereka. Kelompok yang kemudian disebut hacker tersebut dinyatakan bersalah atas pembobolan 60 buah komputer, dari komputer milik Pusat Kanker Memorial Sloan-Kettering hingga komputer milik Laboratorium Nasional Los Alamos. Satu dari pelaku tersebut mendapatkan kekebalan karena testimonialnya, sedangkan 5 pelaku lainnya mendapatkan hukuman masa percobaan.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya muncul kelompok lain yang menyebut-nyebut diri sebagai peretas, padahal bukan. Mereka ini (terutama para pria dewasa) yang mendapat kepuasan lewat membobol komputer dan mengakali telepon (phreaking). Peretas sejati menyebut orang-orang ini cracker dan tidak suka bergaul dengan mereka. Peretas sejati memandang cracker sebagai orang malas, tidak bertanggung jawab, dan tidak terlalu cerdas. Peretas sejati tidak setuju jika dikatakan bahwa dengan menerobos keamanan seseorang telah menjadi peretas.
Para peretas mengadakan pertemuan tahunan, yaitu setiap pertengahan bulan Juli di Las Vegas. Ajang pertemuan peretas terbesar di dunia tersebut dinamakan Def Con. Acara Def Con tersebut lebih kepada ajang pertukaran informasi dan teknologi yang berkaitan dengan aktivitas peretasan.
Peretas memiliki konotasi negatif karena kesalahpahaman masyarakat akan perbedaan istilah tentang hacker dan cracker. Banyak orang memahami bahwa peretaslah yang mengakibatkan kerugian pihak tertentu seperti mengubah tampilan suatu situs web (defacing), menyisipkan kode-kode virus, dan lain-lain, padahal mereka adalah crackerCracker-lah menggunakan celah-celah keamanan yang belum diperbaiki oleh pembuat perangkat lunak (bug) untuk menyusup dan merusak suatu sistem. Atas alasan ini biasanya para peretasdipahami dibagi menjadi dua golongan: White Hat Hackers, yakni hacker yang sebenarnya dan cracker yang sering disebut dengan istilah Black Hat Hackers. beberapa black hat terkenal di indonesia adalah v3n0m, ncell saint dan yang legendaris adalah mistersaint

[sunting]

Rabu, 09 Februari 2011

Upacara Ngaben


NGABEN (Pitra Yadnya)


Upacara Ngaben (Di Lampung)
AMHD.kbs.com : Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sbg kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Seperti yg tulis di artikel ttg pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika manusia meninggal yg mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Nah ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.



Ada beberapa pendapat ttg asal kata ngaben. Ada yg mengatakan ngaben dari kata beya yg artinya bekal, ada juga yg mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll.

Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sbg dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dgn menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yg digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta utk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yg melekat pada atma/roh.

Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui rienkarnasi. Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian.

Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.

Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah  melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan  atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.




Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.

Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.

Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain bergambar unsur2 penyucian roh.





Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sbg simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu.

Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah pembakaran dgn api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dgn menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg menggunakan angin.

Umumnya proses pembakaran dari jenazah yg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu utk bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada  keluarganya meninggal.

Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya.  Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.

Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.

Selasa, 08 Februari 2011

Hari Raya Nyepi

Nyepi




Nyepi is a Balinese "Day of Silence" that commemorated everyIsakawarsa (Saka new year) according to Bali's calendar (in 2011, it will be on March 5th). It is a day of silence, fasting, and meditation. The day following Nyepi is also celebrated as New year Gudi Padva inMaharashtra andUgadi in Andhra Pradesh and Karnataka in India.
Observed from 6 a.m. until 6 a.m. the next morning, Nyepi is a day reserved for self-reflection and as such, anything that might interfere with that purpose is restricted. The main restrictions are: no lighting fires (and lights must be kept low); no working; no entertainment or pleasure; no traveling; and for some, no talking or eating at all. The effect of these prohibitions is that Bali’s usually bustling streets and roads are empty, there is little or no noise from TVs and radios, and few signs of activity are seen even inside homes. The only people to be seen outdoors are thePecalang, traditional security men who patrol the streets to ensure the prohibitions are being followed.
Although Nyepi is primarily a Hindu holiday, non-Hindu residents of Bali observe the day of silence as well, out of respect for their fellow citizens. Even tourists are not exempt; although free to do as they wish inside their hotels, no one is allowed onto the beaches or streets, and the only airport in Bali remains closed for the entire day. The only exceptions granted are for emergency vehicles carrying those with life-threatening conditions and women about to give birth.
On the day after Nyepi, known as Ngembak Geni, social activity picks up again quickly, as families and friends gather to ask forgiveness from one another, and to perform certain religious rituals together.
[edit]Rituals
§ First, The Melasti Ritual is performed at the 3-4 previous day. It is dedicated to Sanghyang Widhi Wasa and is performed at the beach to respect them as the owner of The Land and Sea. The ritual performed in Pura (Balinese temple) near the sea (Pura Segara) and meant to purify Arca, Pratima, and Pralingga (sacred objects) belongs to several temples, also to acquire sacred water from the sea.
§ Second, The Bhuta Yajna Ritual is performed in order to vanquish the negative elements and create balance with God, Mankind, and Nature. The ritual also meant to appease Batara Kala by Pecaruanoffering. Devout Hindu Balinese villages usually make ogoh-ogoh, demonic statues made of bamboo and paper symbolizing negative elements or malevolent spirits. After the ogoh-ogoh have been paraded around the village, the Ngrupuk ritual takes place, which involves burning the ogoh-ogoh.
§ Third, The Nyepi Rituals is performed with the following conditions:
§ Amati Geni: No fire/light, including no electricity
§ Amati Karya: No working
§ Amati Lelunganan: No travelling
§ Amati Lelanguan: Fasting and no revelry/self-entertainment
§ Fourth, The Yoga/Brata Ritual starts at 6:00 AM (e.g. March 26, 2009) and continues to 6:00 AM the next day.
§ Fifth, The Ngebak Agni/Labuh Brata Ritual is performed for all 

Video Kami

Pura Dalem Rama Indra 1



Pura Dalem Rama indra 1,


Pura Puseh, Rama Indra 1


Pengertian Pura : 



Om Swastyastu..........................
1. Pengertian Pura 
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.
Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan........................ Sanghyang di Turuñan " yang artinya tempat suci di Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda.
Prasasti -prasasti yang disebutkan di atas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe " Yumu pakatahu " yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Udayana. Sejak itu prasasti - prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan - kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019 - 1042M) datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat " Parhyangan atau Kahyangan Dewa " di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan Catur Loka Pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing Desa - pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis - jenis Upacāra, jenis - jenis pedagingan pelinggih dan sebagainya sebagaimana diuraikan di dalam lontar Dewa Tattwa.

Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana - istana raja disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga istilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri. Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Empu Kuturan ke paham - paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik. 

Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.

Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadipun demikian namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).

Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.
Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak- undak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistem pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan Upacāra keagamaan tertentu (Upacāra penyucian) Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata.
Lebih - lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah - olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan berkembang bersama - sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistem kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kebudayaan Indonesia asli dengan sistem pemujaan dewa manifestasinya Hyang Widhi sebagai unsur kebudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain terlihat pada konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini memberikan salah satu pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung (Mahameru) tempat pemujaan dewa dan bhatara.
2. Pengelompokan Pura

Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :

1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa. 
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur. 

Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat istilah pura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara. 

Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.

Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:

1). Pura Umum. 

Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru. 

Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.

Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.

Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

2). Pura Teritorial 

Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua. 

Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat- tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.

3). Pura Fungsional 

Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.

Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.

Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4). Pura Kawitan: 

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin . 

Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :

a. Berdasarkan atas Fungsinya : 

1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan. 

2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman 

b. Berdasarkan atas Karakterisasinya: 

1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain. 

2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh Desa Adat. 

3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya . 

4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya. 

Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.
3. Tata Upacāra Membangun Pura
a. Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah. Upacāra ini dilaksankan sebagai Upacāra awal dalam persiapan membangun sebuah Pura, yakni merubah status tanah; yang sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis Upacāra ini dilaksanakan secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya pembanguan baru ataupun pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti membangun sepelebahan pura baru.
b. Upacāra Nyukat Karang. Upacāra ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti tata letak bangunan pelinggih yang akan didirikan, dan luas masing-masing mandala (palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai dengan aturan yang termuat baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta Bumi.
c. Upacāra Nasarin. Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu pertama, yang didahului dengan Upacāra permakluman kepada Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakāra sesayut Pertiwi, pejati, dan Upakāra lainnya. Pada Upacāra ini ditanam sebuah bata merah yang telah dirajah dengan Padma angalayang dangan aksaranya Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan Angkara, dibukus dengan kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang dirajah dengan aksara Ang-Ung- Mang. Lalu dibungkus kain hitam dan diisi sebuah kuangen. Dan sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan aksara Omkara Gni, dibungkus dengan kain putih dan diisi kuangen.
d. Upacāra Memakuh, Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/ Bhatari berkenan melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan Upacāra pujawali, sedangkan untuk membersihkan/ mensucikan areal pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan berupa Panyudha Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya, dengan memperhatikan kedudukan dan fungsi Pura masing-masing, maka akan ditentukan atas/ berdasarkan petunjuk para Sulinggih yang dikaitkan dengan adat setempat yang telah berlangsung sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih sempurna.
e. Upacāra Mendem Pedagingan. Setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan dilaksanakan Upacāra Mendem Pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih dengan Pelinggih yang lainnya tidak sama - hal ini tergantung dari jenis bangunan Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis bebantennyapun juga ada yang berbeda.
Tata cara membuat dan memendem pedagingan ini disamping mengikuti sastra agama, juga mengikuti isi Bhisama dari Mpu Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun Meru di Besakih.
Adapun cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut : "Yan meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, sami wenang mepadagingan tur mangda memargi manista, madya, utama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar salwiring prabot manusa genep mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa, maweweh antuk ayam mas, ayam selaka, bebek mas, slaka, kacang mas, slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah, prihpih mas, slaka, tembaga miwah jarum mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados dasar. Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi ajeng, saha mawadah rerapetan sane mawarna putih, mwah wangi-wangian setegepe, mawastra putih, rantasan sapradeg. Ring madyaning tumpang merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padhi musah 2, wangi-wangian setegepe. Ring puncaknya, taler prihpih mas, slaka miwah jarum kadi ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika kandaning meru tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah punika manista madya utama, utama jinah papendemane 11 tali, madya 8 tali, nista 4 tali.
Malih pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun, Bhadawangnala mas, slaka mwah prabot manusa genep, wangi-wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga, miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian mas, slaka, nyalian mas, udang mas, getem (ketam) temaga, tanlempas mewangi-wangian segenepa, mewadah rapetan putih, metali benang catur warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara, pripih slaka merajah kulum, pripih tembaga merajah getem, miwah jarum manut pripih, phodi mirah 2, tan sah wangi-wangian setegepa mewadah rerapetan putih. Malih korsi mas mewadah lingir sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama, sluwir-luwir padagingan ika, kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan mamurug, dawning linggih Bhatara, yang ande kapurug, kahyangan ika wenang dadi pesayuban Bhuta pisaca, makadi sang mewangun kahyangan ika, tan memanggih rahayu terus tumus kateka tekeng putra potrakanya, asapunka kojarnya sami mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca mirah korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana"
Untuk cuplikan ini kiranya tidak perlu dialih bahasakan lagi, karena telah mempergunakan bahasa Bali lumrah, sehingga telah dapat dimengerti oleh sebagian masyarakat umat Hindu yang ada di Bali.
f. Ngenteg Linggih. Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan - linggih berarti menobatkan/ menstanakan.
Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada Pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura yang bersangkutan. Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
Upacāra ditandai dengan membangun Sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bebanten suci 4 (empat) soroh dan banten catur, tegen-tegenan, serta Perlengkapan lainnya berupa sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh) butir yang dikemas dalam empat bakul, uang kepeng 52 (lima puluh dua). Jika di Sanggar tawang menyempatkan tirta, mesti dilengkapi lagi dengan banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan lainnya (menurut petunjuk Sulinggih). Pada undakan Sanggar tawang bebantennya adalah suci samida beserta beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat peras pagenayan bertumpeng merah, ayam biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah. Pada Sanggar tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada rong yang ditengah memakai lamak surya dan lamak candra, lamak segara pada rong selatan, lamak gunung pada rong paling utara. Pada masing-masing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang kayu, plawa dilengkapi pajeng, tetunggul empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan panggungan perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang kepeng 225, benang setukel dan memakai busana lengkap. Perlengkapan lainnya berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000,- (lima ribu), jerimpen 5 (lima) tanding, dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang.
Banten di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah dengan plegembal. Di depan lubang yang nantinya digunakan mepulang/ menanam pedagingan, didepannya digelar baying-bayang (kulit) kerbau hitam, sesajen selengkapnya dengan bebangkit warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu guling, cawu renteg, isu-isu, kwangi.
Pada Sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus, dengan perlengkapannya suci putih, bebangkit dan pula kerti, sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama Pelinggih), berupa suci 1, bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar pura, berupa caru panca sanak, baying-bayang (kulit) angsa, bebek belang kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan suci, bebangkit hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. Setelah semua Perlengkapan Upacāra ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih, kemudian diakhiri dengan persembahyangan bersama.
Catatan: Tingkatan Upakāra dan Upacāra dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih pelaksanaannya agar disesuaikan dengan petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang menjadi Manggala Upacāra saat Ngenteg Linggih
4. Upacāra Pujawali (Odalan)
Upacāra Pujawali (piodalan) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Dewa Yadnya, yaitu suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu ditujukan kehadapan Ida Hyang Widhi dan Para Dewa sekalian.
Bagi umat Hindu (etnis Bali) khususnya, korban itu berbentuk banten, banten yang menjadi salah satu bentuk persembahan ini sesungguhnya merupakan suatu wujud nyata ungkapan rasa terima kasih yang tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi, terutapa meyakinkan getaran-getaran nurani bahwa hidup dan kehidupan kita sebagai manusia amat tergantung daripada-Nya.
Ungkapan rasa terima kasih kita kepada Hyang Widhi yang kemudian melandasi umat Hindu dalam melaksanakan Yadnya (korban suci) itu dan sesungguhnya telah mengikuti petunjuk-petunjuk Bhagawadgita (salah satu buku suci), utamanya bab II sloka 12 - 13 berbunyi sebagai berikut :
"istam bhogam hi vo dava dasyate Yajnabhawitah tuir dattan aprodayani'bhyo Yo bhumkte stana eva sah" - Dipelihara oleh Yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau inginkan, Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri.
"Yajnasistasinah santo mueyanto sarvakilbisaih bhunyate teti agham papa ya pacanty atmakaranat" - Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makan bagi kepentingan sendiri adalah makan dosanya sendiri.
Dengan demikian sudah amat wajarlah setiap orang yang mengakui Kemahakuasaan Tuhan, akan berusaha berbuat segala sesuatunya sesuai dengan kemampuan serta keadaan untuk melaksanakan Yadnya kepada-Nya.
Namun apa yang paling penting dalam melaksanakan Yadnya itu adalah adanya rasa yang tulus ikhlas yang terlahir dari lubuk hati yang paling dalam (suci - bersih), bukan didasarkan atas besar kecilnya yadnya yang dilaksanakan. Kutipan berikutnya menyatakan betapa sederhananya yadnya itu boleh dilaksanakan :
"Patram puspam phlam toyam yo me bhaktya prayocehati tad sham bhaktyapahrtam asnami prayatatmanah" - Siapapun dengan kesujudan mempersembahkan kepada Ku daun, bunga, buah-buahan dan air, persembahan yang didasari dengan cinta yang keluar dari hati yang suci, Aku terima. (Bhagawadgita, III. 28)
Memperhatikan beberapa petunjuk di atas, maka para penyungsung Pura dan umat bertekad melaksanakan dan mensukseskan Upacāra Pujawali (piodalan) sesuai subadewasa, dengan segala ketulusan hati yang paling suci bersih. Secara umum rangkaian sebuah Pujawali / Pidodalan dengan rangkaian Upacāra sebagai berikut :
a. Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali)
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 
2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan. 
3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: 
a. Peasepan 
b. Toya Anyar 
c. Byakala: 
a) Pengeresikan 
b) Tirtha – Padma 
c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah 
d) Prayascitta: 
a) Pengeresikan 
b) Tirtha – Padma 
c) Bungkak Gading – Lis Senjata 
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas 
e) Pengulapan: 
a). Pengeresikan 
b).Tirtha – Padma 
c). Bungkak Bulan – Lis 
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.
Catatan: 
 Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.
Ø
1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah 
2. Nunas Tirtha Wangsuhpada 
3. Puja parama santih
b. Upacāra Ngingsah (Taman Sari/ Beji)-
Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) Pinandita memohon Tirtha 5 (Lima) Jenis dari Taman Sari atau Beji 
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahan-bahan Upacāra diiring ke Beji oleh Serati banten 
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian Nyeruh beras, nampinin beras, kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala, tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d. Beras Hitam (Injin) e. Kacang-kacangan (Bija ratus) 
3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat 
4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan-bahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke Madya Mandala (Sanggar Tapeni)
c. Upacāra Ngereka Beras Catur (Sanggar Tapeni)-
Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) 1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning dilinggihkan di Sanggar Tapeni 2. Suci alit, Pejati, Sesayut Bagia Setata, Bahan – bahan upakāra 1 tempeh, dibawahnya 3. Dua tempeh sukla 2, kain putih -/+ @ 0.5 mtr, Kuangen PengErekan 11x 2, uang kepeng 108 x 2, beras yang sudah diingsah, cili lanang-istri @ 1 buah, soda 2, canang lenga wangi 2 burat wangi 2, canang pengeraos 2, canang sari 2 4. Beras direka menyerupai manusia laki dan perempuan (yang laki-laki oleh ditanding oleh Pria, dan yang perempuan ditanding oleh Wanita) 5. Muspa ke hadapan Bhagawan Wiswakarma dan Bhatari Tapeni, memohon agar pelaksanaan Rangkaian Upacāra pujawali berjalan dengan lancar, aman, tidak ada yang bertengkar/berselisih faham dan semuanya bergembira, serta agar tidak boros 6. Dilanjutkan dengan memercikkan tirtha Pengarksa Karya dan Tirtha Panginih-inih 7. Dilanjutkan dengan membuat adonan tepung untuk samuhan catur, suci, pebangkit, pulagembal, dan jerimpen sumbu.
d. Upakāra Nunas Tirtha Ke Pura Lain
 Jika tidak ada kegiatan nunas tirtha ke Pura lain, maka upacara ini tidak dilaksanakan 1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan deØ Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini. Ø Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar-, Bale untuk Nedunang - Pemedal Agung- Pelinggih Maya – Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Ø1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a). Pengeresikan b).Tirtha – Padma c). Bungkak Bulan – Lis d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan: ngan sembahyang bersama dan keramaning sembah 2. Nunas Tirtha Wangsuhpada 3. Puja parama santih 4. Petugas nunas Tirtha dibagikan Bumbung dan Banten.
e. Upacāra Pecaruan
 Dibutuhkan 15 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Pandita/Pinandita mapuja ke Surya (Upasaksi) 5. Pandita / Pinandita Ngundang Bhūta, diikuti kidung Bhūta Yajña 6. Pemercikan Tirtha Pecaruan (Byakala, Prayascita,dan Tirtha Caru) dimulai dari arah Timur-Tenggara-Selatan - Barat Daya- Barat- Utara- Tengah. 7. Pandita / Pinandita Ngayabang Caru dibantu oleh umat (7 Orang) 8. Pandita / Pinandita Ngelukat Bhūta dibantu oleh Pinandita 9. Pralina Bhūta 10. Nyarub Caru, dengan urut-urutan: Tirtha Caru, Nasi Caru, Sampat, Tulud, Kulkul, dilaksanakan memutar berlawanan dengan arah jarum jam (prasawya) sebanyak 3 x diikuti Gong Bleganjur 11. Kemudian Pandita / Pinandita Mepuja dalam rangka Nedunang.Ø Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Caru, Bale untuk Nedunang - Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Ø1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Pandita/ Pinandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas f. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Ida pedanda Catatan:
f. Upacāra Nedunang di Pañca Desa
 Banten pemagpag§ Umbul-umbul § Mamas § Penuntunan § Peasepan § Tirtha Panedunan dari Ida Pedanda 1. Setelah Semua Uperengga di atas berada di Pangungan, pinandita mulai ngastawa, diiringi dengan kidung dan Gong Bleganjur a. Ngemargian Tirtha Penedunan b. Nagturang banten ring Pangungan Catatan: Semua prosesi di atas dimulai dari Pralingga Padmasana, Taman Sari, Pangemit Tirtha, Anglurah. c. Masegeh Agung oleh pinandita d. Tedun dari panggungan dengan melewati Panggungan dengan urut-urutan dari depan: v Banten Arepan ; Peras, Daksina, Segehan, v Perlengkapan lainnya: Peasepan, Kober, Lontek, Tumbak, Mamas, Penuntun, Sesayut Penuntun Dewa, Sesayut Pemapag, Sesayut Pengiring, Segehan Agung, Cane, Tempat Tirtha, Rantasan, Daksina Pralingga, Tedung, Gong Bleganjur. v Di Panggungan: Suci Laksana, Daksina Gede, Pejati. Di bawah panggungan: Segehan Agung, Arak-Berem-Tuak. v Telajakan Wastra Putih dari Padmasana sampai Candi Bentar di atasnya berisi Canang Cari. v
 Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, Bleganjur, umat • Point d butuh tenaga: 26 orang§ Daksina Pralingga § Tempat Tirtha § Rantasan § Cane § Banten Pangiring § Banten Penuntun dewa §
g. Upacāra Medatengan di Depan Candi Bentar Pejati
1, Pangulapan, Datengan, Canang Pangrawos, Masing-masing Daksina Pralingga; Soda Pemendak, Pependetan dan atau bebarisan 1. Pinandita mepuja ngaturang banten datengan 2. Tarian papendetan 3. Memargi ke Utama Mandala menuju Bale papelik 4. Bleganjur sampai di depan Kori Agung
h. Banten Mesandekan Ring Bale Papelik Pejati
1, Masing-Masing Daksina Pralingga: banten Rayunan (Hidangan nasi, lauk, sayur, minuman menjadi 1 tempat), di bawah: Segehan Cacahan. Setelah selesai mesandekan menuju Taman Sari Untuk Mesucian
i. Upacāra Masucian Ring Beji (Pancoran)
Suci Alit, Pejati, Ayaban Tumpeng Lima, Eteh-eteh Pasucian (sisir, cermin, minyak wangi, bedak), Masing-Masing Daksina Pralingga; Canang Lenga Wangi, Canang Burat Wangi, Wastra (kain, handuk, sabuk Stagen), Segehan Cacahan. 1. Pinandita mulai ngaturang banten bersamaan ketika Ida Bhatara Medatengan 2. Daksina Pralingga mulai dari Padmasana samapi Anglurah dihaturi: a. Toya Anyar b. Sabun c. Air kumkuman d. Katuran Wastra e. Sisir f. Bedak g. Minyak Wangi h. Cermin i. Masegeh Cacahan 3. Persiapan Purwa Daksina
j. Upacāra Mapurwa Daksina
 Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat • Selesai Purwa Daksina, Ngelinggihan Ke masing-masing pelinggih oleh Pinandita dibantu Para Sutra§ Daksina Pralingga § Tempat Tirtha § Rantasan § Cane § Banten Pangiring § Banten Penuntun dewa § Banten pemagpag § Umbul-umbul § Mamas § Penuntunan § Peasepan §1. Pinandita ngaturang Segehan Agung di depan Padmasana, Petabuh Arak-Berem-Tuak. 2. Urut-urutan Purwa Daksina:
k. Upacāra Pujawali
 Dibutuhkan 16 orang pengayah untuk prosesi ini. 1. Pandita mapuja ngaturang Pujawali 2. Sembahyang bersama 3. Mejaya-jaya 4. Nunas tirtha 5. Dharma Wacana 6. Puja Parama SantihØ Semua kegiatan a – g dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Ø1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Panditamemohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas d. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Tirtha padudusan dari Pandita f. Tirtha Catur Kumbha dari Pandita g. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Pandita Catatan:
l. Upakāra Ngayarin:
A. Pagi Hari: (pk. 09.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Pejati, Kopi /Teh, kue, di bawah Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih yang lainnya: masing-masing: Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan Cacahan B. Siang Hari: (pk. 12.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Rayunan , di 2. Pelinggih yang lainnya masing-masing: Rayunan Alit 3. Arepan Memuja: Soda Catatan: Upacara Nganyarin dilaksanakan jika pujawali / piodalannya nyejer, selama nyejer dilaksanakan persembahan banten Nganyarin dan umat sembahyang. Jika pujawali /piodalan tidak nyejer maka upacara ini ditiadakan
m. Upacāra Penyineban
 Tegen-tegenan Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat 6. Selesai Purwa Daksina, Mesandekan di Asagan 7. Pinandita ngaturang Banten Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang Segehan Agung 9. Tirtha Pralina untuk Daksina Pralingga 10. Banten Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina Pralingga 12. Puja Parama Santih 13. Meprani§ Salaran § Tedung § Daksina Pralingga § Tempat Tirtha § Rantasan § Cane § Banten Pangiring § Banten Penuntun dewa § Banten pemagpag § Umbul-umbul § Mamas § Penuntunan § Peasepan §1. Pinandita ngaturang Banten Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4. Nedunang Daksina Pralingga dari masing-masing Pelinggih 5. Urut-urutan Nyineb a. Purwa Daksina:
n. Upacāra Ngelemekin
 Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina Pralingga Dewi Tapeni 5. Mralina Lingga Bhagawan Wiswakarma 6. Ngaturang Suyuk 7. Umat diperciki tirtha Prayascita, 8. Sembahyang bersama dan Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha Wangsuhpada 10. Ngaturang Guru Dakasina kepada: Pinandita, Serati Banten, Panitia, Banjar 11. Puja parama santih 12. Asah-Asih-AsuhØ Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Ø1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan:
o. Penutup
Demikianlah pengertian, pengelompokan dan tata cara mendirikan sebuah pura yang dapat diketengahkan pada kesempatan ini. Dari uraian ini akan timbul pertanyaan; Mampukah umat Hindu memenuhi petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta mampukah melaksanakannya ? Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai Yajamana tetapi tugas Umat Hindu sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang. Tetapi penulis yakin, apabila memang dilandasi dengan pikiran tulus dan suci tidak ada yang tidak dapat kita lakukan, lebih-lebih demi kepentingan yang lebih besar dan untuk kerahayuan jagat. Demikian Kesimpulan akhir tulisan ini yang sudah tentu masih banyak kekurangannya, namun ada baiknya untuk bahan renungan dalam usaha ngastiti kerahayuan kita bersama - Moksartham Jagadhita Om Santih Santih Santih Om......................